Rabu, 23 Maret 2011

komentar terhadap artikel pendidikan

 Diajukan untuk memenuhi tugas mata Kuliah Administrasi Pendidikan 
Oleh : Ruhmi Annisa Jkasim 

UJIAN NASIONAL DALAM BINGKAI PENDIDIKAN HOLISTIK 
William Chang | Kompas
         Terlepas dari maksud baik apapun, dampak negatif pemberlakuan Ujian Nasional (UN) tak terelakkan. Tindak kekerasan (perusakan sekolah) serta meneguk minuman keras termasuk reaksi atas ketidaklulusan menempuh UN (Kompas, 15/6/2004). Selain itu, metode "penilaian" hasil ujian siswa (baca: "pelulusan", "penguntungan" dan "perugian" siswa) perlu dipertanyakan. Ketajaman intelektual mendapat sorotan istimewa dalam dunia pendidikan formal. Terkesan, keunggulan (arête, virtue) kepribadian seorang anak didik ditakar berdasarkan relativitas angka yang umumnya telah direkayasa. Secara tidak langsung, dari satu sisi sistem ini lebih menghargai pribadi anak-anak yang berintelektualitas tinggi daripada anak-anak yang berintelektualitas sedang dan rendah. Ini termasuk berita diskriminatif dalam dunia pendidikan formal. 
          Demi perbaikan dunia pendidikan, sistem (penilaian) UN ini perlu lebih dicermati. Pertama, model soal multiple choice acapkali membingungkan, dari sisi lain model ini mengajar anak didik untuk berspekulasi dan mereka-reka dalam hidup. Kedua, metode konversi (jelmaan dari sistem "katrol-katrolan") perlu ditinjau ulang, sebab metode ini membuka peluang luas untuk mempermainkan (baca: menyulap) hasil keringat dan perasan otak siswa. Bukan mustahil, kesempatan berpolitik uang akan bertumbuh subur dalam dunia pendidikan formal. Ketiga, anak didik tidak dihadapkan dengan realitas hidup dan hasil perjuangannya sendiri, namun anak-anak didik diperkenalkan dengan budaya rekayasa. Sistem penilaian UN pada dasarnya mendidik anak-anak kita untuk mengubah sesuatu tanpa memperhatikan hak pihak lain. Merugikan pihak lain tanpa landasan yang adil. Suatu keberhasilan semu diperoleh tidak melalui proses normal, melainkan melalui sistem spekulatif yang berciri untung-untungan. Ketidakadilan muncul dalam dunia pendidikan formal karena siswa yang berhak menerima nilai yang semestinya merasa dirugikan oleh sistem ini. Sementara itu, terdapat sejumlah siswa diuntungkan oleh sistem ini. Anak didik tidak diajar untuk menghargai hak orang lain sebagaimana mestinya. Biarkan anak didik sendiri yang menentukan hasil keringat mereka tanpa manipulasi yang merugikan dan menguntungkan. Relativitas dimensi intelektual dalam pendidikan formal memang tak tersangkalkan. Akibatnya, kualitas kepribadian anak didik tidak cukup hanya ditakar berdasarkan intelektualitas yang di-angka-kan melalui sistem penilaian tertentu. Secara ideal &teoretis, dunia pendidikan diharapkan bisa mempersiapkan anak didik berkepribadian integral yang menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dasar hidup manusia. Integritas kepribadian anak didik seharusnya mengenal dan memiliki suatu sistem intelektualitas yang saling terkait (interdependent multiple intelligence) yang perlu diperkenalkan dan ditanamkan dalam dunia pendidikan formal (Bpk. Teori multiple intelligence Howard Gardner). Anak didik yang berintelektualitas integral sanggup berkomunikasi dengan diri-sendiri, sesama dan lingkungan hidup sambil memperhatikan nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi. Dimensi moralitas jadi bahan pertimbangan dalam pola pikir, bicara dan tindak-tanduk. Suatu pemikiran yang terpaut dengan kenyataan dan pengalaman hidup sangat dibutuhkan. 
        Sistem penilaian UN secara tidak langsung mengajar anak didik untuk mencapai nilai tertentu tanpa mempertimbangkan dimensi moral metode yang diterapkan pada penilaian. Makna intelektualitas integral direduksi melalui proses penilaian yang terkait dengan angka-angka yang ditentukan oleh pihak lain menurut standar yang dianut. Anak didik berintelektualitas sehat dengan sendirinya menilai sistem penilaian UN tidak adil dan merugikan pihak yang berhak untuk memperoleh nilai lebih. Anak didik yang belajar sungguh-sungguh akan dirugikan, sedangkan anak didik yang malas belajar akan diuntungkan. (Kompas, 15/6/2004). 
        Ke arah manakah pendulum dunia pendidikan formal kita? Metode penilaian UN mengandung unsur manipulasi pihak yang berkompetensi dalam menentukan hasil usaha dan perjuangan anak didik. Yang lebih tragis adalah pendidikan ketidakadilan di kalangan anak- anak didik. Secara tak sadar dunia pendidikan formal kita sedang mempersiapkan dan melahirkan generasi muda yang menghalalkan sistem "katrol-katrol"-an, mengubah realitas menurut maksud manusia, merugikan pihak lain tanpa rasa bersalah dan diuntungkan dengan jalan haram. Sistem penilaian UN perlu mempertimbangkan kerangka holistik pendidikan tanpa meninggalkan cara pandang berperspektif interdisipliner dalam suatu konteks keseluruhan yang membantu manusia untuk lebih memahami dan menyelami makna pendidikan humaniora. Dikotomi klasik yang memisahkan otak- hati, pengetahuan-agama, keindahan-fungsi segera ditinggalkan karena pendekatan ini akan menimbulkan fragmentasi dalam hidup manusia. Betapapun, metode penilaian UN perlu ditempatkan dalam bingkai dunia pendidikan holistik tempat manusia belajar hidup bersama dengan yang lain. Ruang kelas menjadi sebuah komunitas. Dunia pendidikan menjadi tempat bagi manusia untuk mengembangkan hubungan-hubungan baik, adil, terbuka, jujur, saling menghormati, tak merugikan pihak lain. Pendidikan ini tidak lagi memprioritaskan kompetisi, tapi proses belajar saling mendukung, kerja sama dan membebaskan. Suatu masyarakat yang lebih baik, adil dan sejahtera menjadi sasaran utama dalam proses pendidikan holistik. 
Sumber Artikel : http://semipalar.net/artikel/Masalah Pendidikan Indonesia/17.html 
Di akses 11 Maret 2011 
Komentar terhadap Artikel di atas : 
         Pembahasan artikel diatas sangat menarik untuk dibahas dan dikaji lebih lanjut. Hiruk pikuk dunia pendidikan saat ini sepertinya sudah menjadi cerita lama bagi masyarakat Indonesia. Permasalahan muncul bertubi-tubi namun ujung peneyelesain sepertinya tak jua hadir, mulai dari Kurikulum yang terus berubah, Biaya Pendidikan yang semakin mencekik orang tua murid, Rencana Undang-undang BHP, Kulaitas Pendidik, Fasilitas Pendidikan yang belum memadai, dan masalah utama lainya adalah adanya sistem Ujian Nasional yang dijadikan tolak ukur kelulusan siswa dalam menempuh dunia pendidikan formal, namun pada kenyataannya Ujian Nasional pula lah yang menjadi sistem yang akan membawa generasi bangsa ini pada pola pikir yang tebak-tebakan atau aji mumpung, persis seperti yang di ungkapkan dalam artikel di atas, pola pikir ini akan sangat berpengaruh pada proses seseorang dalam hidupnya. 
        Bila kita dengar di media cetak maupun elektronik, berapa banyak siswa yang menjadi korban dari Ujian Nasioanal, berbagai kejadian muncul, ada siswa yang mengalami ganguan jiwa, histeris ketika melihat pengumumam nila Ujian Nasional, bahkan ada yang mencoba bunuh diri, suggug tragis, namum inilah kenyataanya. Seperti yang diungkapkan dalam artikel diatas bahwa Sistem penilaian UN pada dasarnya mendidik anak-anak kita untuk mengubah sesuatu tanpa memperhatikan hak pihak lain. Merugikan pihak lain tanpa landasan yang adil. Suatu keberhasilan semu diperoleh tidak melalui proses normal, melainkan melalui sistem spekulatif yang berciri untung-untungan. 
         Dalam keadaan yang sama ternyata Ujian Nasional menjadi gambaran rendahnya sistem pendidikan di Indonesia. Mungkin hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam penyelenggaraan Ujian Nasional acap kali guru menjadi sang pahlawan para siswa, tidak sedikit sekolah-sekolah yang tercoreng namanya lantaran guru memeberikan kunci jawaban kepada siswa. Alih-alih ada sebagian siwa yang nekad membeli kunci jawaban dari pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari keadaan ini. Disini jelas bahwa Ujian Nasional tidak menciptakan iklim kompetitif yang sehat namun menciptakan pola pikir asal lulus dengan acra apapun bagi para siswa. 
          Pada dasarnya tidak ada salahnya jika Ujian Nasional dilaknsanakan oleh pemerintah sebagai suatu referensi pihak pemerintah untuk mengetahui daya saing para siswa di Indonesia, sehingga pemerintah dapat mengambil langkah kebijakan yang tepat untuk terus meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, namun jangan dijadikan sebagai tolak ukur atau standar kelulusan, karena hal ini akan sangat menyulitkan para siswa. Kemampuan intelektual yang dimiliki olah setiap siswa akan dipengaruhi olah banyak faktor, seperti akses informasi yang dimiliki, lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat, dan banyak hal, sangat tidaklah sama kemampuan siswa yang tinggal dipedalaman daerah dengan siswa yang dikota, jika pemerintah menetapkan standar nilai yang harus dicapai oleh siswa untuk lulus maka ini sangatlah tidak adil. 
         Dalam dunia pendidikan kemampuan intelektual bukanlah satu-satunya tujuan utama diselenggarakanya pendidikan, namun mencakup berbagai aspek yang pada akhirnya diharapkan mampu menolong setiap individu untuk mengembangkan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Jika kita merujuk pada makna intelektual yang sering digambarkan dengan kecerdasan, maka makna cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya, bukan menyatakanya dalam angka-angka yang diperoleh saat Ujian Nasional. Kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek utama, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Namun seperti yang kita ketahui bersama dalam dalam Ujian Nasional hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Selain itu jika kita merujuk pada UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas : standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala, dengan demikian maka sepantasnya yang mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan bukan ditentukan secara sepihak oleh pemerintah, namum juga harus ada kerjasama dengan guru, kerana guru pada dasarnya lebih mengetahui kemampuan siswa dalam berbagai aspek penilaian. “Dunia pendidikan menjadi tempat bagi manusia untuk mengembangkan hubungan-hubungan baik, adil, terbuka, jujur, saling menghormati, tak merugikan pihak lain. Pendidikan ini tidak lagi memprioritaskan kompetisi, tapi proses belajar saling mendukung, kerja sama dan membebaskan.” Petikan pernyataan dalam artikel diatas adalah sesuatu yang pada dasarnya menjadi tujuan utama dari pendidikan bangsa ini, sehingga dalam cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu “Mencerdaskan Kehidupa Bangsa” dapat dirasaka oleh seluruh lapisan masyarakat.

1 komentar:

  1. The Shady Creek Casino, Cherokee, NC - MapYRO
    Search the Casinos MapYRO 안동 출장마사지 users' 삼척 출장샵 location, see 과천 출장마사지 activity, reviews, 상주 출장마사지 and information 통영 출장마사지 about the casinos, gambling, lodging, restaurants,

    BalasHapus

Assalamualaikum,wr,wb.Mohon di isi ya..semoga bermanfaat untuk perbaikan yang akan datang. Jazakumullah Khairan Katsir.